Bisnis ini belangsung sejak lama. Peran orangtua sangat dibutuhkan.
VIVA.co.id - Bisnis esek-esek semakin menjamur. Pelakunya tak lagi gunakan cara lama dengan menjajakan diri di jalan, tetapi mengikuti perkembangan zaman, yakni menggunakan media sosial.
Kini, pelakunya tak hanya orangtua, tetapi anak yang masih di bawah umur juga tergiur dengan bisnis seks sesaat itu. Demi memenuhi kebutuhan sosialnya, para pelaku juga tak kapok, bahkan ketagihan. Kurangnya pengawasan orangtua membuat anak-anak terjerumus lingkaran setan.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, mengemukakan, bisnis esek-esek online dengan pelaku anak di bawah umur, bukanlah hal yang baru. Bisnis ini sudah belangsung sejak lama dan terlalu sering dibiarkan, sehingga semakin berkembang pesat.
Arist melihat, faktor ekonomi mendominasi anak baru gede (ABG) nekat terjun ke bisnis ini.
"Perkembangan zaman meminta setiap orang memiliki gadget yang canggih. Sementara, mereka anak yang masih belia belum diberikan alat komunikasi sepintar dan semahal itu. Makanya, itu salah satu indikasinya," ujar Arist saat dihubungi VIVA.co.id, Senin 27 April 2015.
Dia menilai, bisnis esek-esek yang menyasar remaja memang sangat dicari. Alasannya, remaja yang masih di bawah umur dipatok dengan harga yang fantastis. Kesempatan ini yang dilihat mucikari, sehingga mendapatkan untung yang lebih banyak.
Menurut dia, anak di bawah umur itu tertarik dengan harga yang ditentukan, lantaran belum pernah mendapatkan uang sebanyak itu dari orangtuanya. Kondisi ini sangat disayangkan, karena dapat merusak generasi.
Sementara itu, lanjut Arist, fenomena yang ada sekarang tak lagi gunakan hotel sebagai tempat menjalankan bisnisnya, melainkan apartemen dan kamar kos. Mudahnya menyewa tempat tersebut, menjadikan para mucikari bebas berkeliaran.
"Dari pengakuan sopir taksi yang sering menjemput di tempat hiburan malam, tujuan mereka (PSK) tak lagi hotel, tetapi apartemen," tambah Arist.
Arist juga menjelaskan, mucikari diangap telah bertransformasi menjadi predator prostitusi online. Sebab, cara perekrutannya pun tinggal melihat di media sosial, dan tak perlu mencari ke tempat-tempat tertentu.
"Coba lihat sekarang, kebanyakan anak-anak itu (pelaku seks komersial) yang datang ke suatu tempat untuk menjajakkan dirinya. Jadi, karena ada iming-iming tertentu, sehingga mereka mau bergabung. Terlebih, untuk memenuhi gaya hidup," jelas Arist.
Di sini, peran orangtua sebagai pengawas juga sangat dibutuhkan. Tak hanya itu, pemerintah dan peneggak hukum sangat diperlukan. Dia mengharapkan, kontribusi mereka dalam mengawasi anak harus lebih ekstra lagi.
"Sekarang, seakan ada pembiaran. Di mana peran pemerintah, jika keluarga sudah dianggap kewalahan. Lihat saja, anak-anak dengan mudahnya masuk ke tempat hiburan malam," kata dia.
Untuk membangkitkan semangat anak muda dan mengembalikan dalam kehidupan wajarnya, para anak-anak yang terlihat ini segera dipulihkan. Caranya, dengan memberikan kesadaran penuh yang datang dari orang terdekat, yaitu orangtuanya.
Yang terpenting, lanjut Arist, negara tidak boleh absen dalam membatasi hal-hal yang tidak selazimnya dilakukan anak-anak SMP dan SMA itu.