Hingga saat ini, masyarakat sekitar masih sangat antusias dalam menyambut event tahunan itu, bahkan acara tersebut dianggap menjadi hiburan tahunan terbesar. Karenanya tak jarang wisatawan asing ikut meliput tradisi budaya kebanggaan kabupaten Pekalongan itu.
Aby, salah seorang warga setempat menuturkan, bahwa acara tahunan itu dimulai dengan pemetikan beberapa tebu untuk kemudian diarak bersama sebagai simbolis dimulainya panen tebu untuk siap diproduksi menjadi gula.
Tebu sebagai bahan baku gula diarak dengan diiringi kirab budaya yang meliputi, barongan, genderuwo, musik gamelan, beserta hiburan pendamping lainnya. Arakan tersebut lalu akan berjalan sepanjang jalan sekitar satu kilometer lebih dan diikuti deretan masyarakat yang ikut meramaikan suasana.
Arak tersebut kemudian akan berjalan menuju ke tempat untuk persinggahan semalam, sebelum keesokan harinya dipertemukan dengan “pengantin glepung”. Di persinggahan, rombongan arak-arakan akan disambut oleh beberapa petinggi pabrik gula beserta sesepuh adat untuk didoakan dan seremonial lainnya.
“Keesokan harinya iring-iringan baru kembali digelar menuju ke dalam pabrik, ditambah dengan pasangan ‘pengantin glepung’nya,” ujar Aby kepada
brilio.net, Jumat (22/5).
Pengantin glepung/tepung adalah sepasang boneka yang bentuknya menyerupai manusia asli, lengkap dengan nama, pakaian pengantin serta berpasangan, kedua boneka itu terbuat dari bahan dasar tepung.
Nantinya tebu hasil petikan beserta pengantin glepung tersebut akan digiling bersama sebagai simbol dari awal proses produksi gula. Malam harinya pun makin meriah dengan berbagai hiburan yang ada, dari wayang, bazar, hiburan anak hingga dewasa, juga bermacam permainan. Karena malam tersebut adalah malam puncak acara. Jalanan bagai samudera manusia, tumplek blek.
Aby menambahkan untuk masa produksi bulan Mei tahun ini, Pabrik Gula Sragi bersama masyarakat yang terlibat pesta giling memberikan nama untuk pengantin pria dengan nama Abdul Jhalil dan khotijah untuk nama pengantin perempuan.